Senin, 26 April 2010

Masail Fikiyah

HOMOSEKSUAL, LESBIAN DAN ONANI

Oleh : Sahrudin

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Kemajuan IPTEK saat ini merupakan salah satu hasil dari Globalisasi yang merupakan kemajuan dan perkembangan zaman. Dalam kemajuan ini kebudayaan pun ikut berkembang termasuk perkembangan Agama yang di dalamnya terdapat berbagai hal yang sudah barang tentu di zaman dahulu belum ada hal yang terjadi secara pasti pada zaman ini, maka muncullah istilah Ijma dalam menentukan kebenarannya.

Pada kesempatan ini penulis mendapat tugas untuk membuat sebuah makalah yang berkaitan dengan Masail Fikiyah yang artinya masalah-masalah fikih yang muncul baru-baru ini yang tentunya belum terjadi pada masa lalu, maka para ulama fikih sekarang menentukan keputusannya lewat ijma yang dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.

Dalam penulisan makalah ini yang berjudul Homoseksual, Lesbian dan Onani (masturbasi), penulis berharap dapat memberikan wawasan dalam menentukan arah dan perkembangan Fikih di zaman sekarang.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan maslah yang akan di bahas pada makalah ini yakni:

1.      Pengertian Homoseksual, Lesbian dan Onani (masturbasi)

2.      Homoseksual, Lesbian dan Onani (masturbasi) menurut pandangan Perundang-undangan yang berlaku.

3.      Hukum Homoseksual, Lesbian dan Onani (masturbasi) berdasarkan para pendapat ulama dan imam yang ada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Homoseksual, Lesbian dan Onani (masturbasi)

1.      Homoseksual adalah hubungan seksual antara orang-orang yang sama kelaminnya, baik sesama pria maupun wanita [1]. Biasanya istilah homoseks dipakai untuk sex antar pria. Homoseks (liwath) dilakukan dengan cara memasukan pernis ke dalam anus.

2.      Lesbian adalah hubungan seksual antara yang sesama jenis kelaminnya, terutama antara wanita dengan wanita [2]. Lesbian (female homoseks) dilakukan dengan cara melakukan masturbasi satu sama lain dengan berbagai cara untuk mendapatkan puncak kenikmatan (climax of the sex act).

3.      Onani/masturbasi adalah masturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang kurang etis dan tidak pantas dilakukan[3]

 

B.     Homoseksual, Lesbian menurut pandangan Perundang-undangan

Homoseksual, Lesbian menurut perundang-undangan RI Vide pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengatakan bahwa pelaku Homoseksual, Lesbian dijerat hukuman penjara paling lama lima tahun.

 

 

C.    Hukum Homoseksual, Lesbian dan Onani (masturbasi) menurut para ulama.

1.      Hukum Homoseksual dan Lesbian

Hukum Homoseks dan Lesbian adalah haram menurut ijma ulama, tetapi dalam menentukan hukumannya berbeda-beda antara para ulama yakni sebagai berikut:

Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) berpendapat : praktik homoseksual tidak dikategorikan zina dengan alasan: Pertama: karena tidak adanya unsur (kriteria) kesamaan antara keduanya. unsur menyia-nyiakan anak dan ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak didapatkan dalam praktik homoseksual. Kedua: berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat (sebagaimana di atas). Berdasarkan kedua alasan ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual  adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah).

Menurut Muhammad Ibn Al Hasan As Syaibani dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) : praktik homoseksual dikategorikan zina, dengan alasan adanya beberapa unsur kesamaan antara keduanya, seperti: Pertama, tersalurkannya syahwat pelaku. Kedua, tercapainya kenikmatan (karena penis dimasukkan ke lubang dubur). Ketiga, tidak diperbolehkan dalam Islam. Keempat, menumpahkan (menyia-nyiakan) air mani. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Muhammad Ibn Al Hasan dan Abu Yusuf  berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku homoseksual sama seperti hukuman yang dikenakan kepada pezina, yaitu: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam (dilempari dengan batu sampai mati), kalau gair muhshan (perjaka), maka dihukuman cambuk dan diasingkan selama satu tahun. 

Menurut Imam Malik praktek homoseksual dikategorikan zina dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau gair muhshan (perjaka). Ia sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As Sya’bi.

Menurut Imam Syafi’i, praktik homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan, di mana keduanya sama-sama merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam. Kalau gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, An Nakha’I, Al Hasan dan Qatadah.

Menurut Imam Hambali, praktik homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat): Pertama, dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam. kalau pelakunya gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. (pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh dengan dirajam, baik dia itu muhshan atau gair muhshan.

 

 

 

 

2.      Hukum Onani (masturbasi)

Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani :

1.      Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥﴾
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦﴾
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧﴾

Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7)

 

2.      Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.

3.      Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.

4.      Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)

Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya :

Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29)

5.      Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.

6.      Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426)

Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا 

Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat simpulkan antara lain:

1.      Pengertian Homoseksual, Lesbian dan Onani adalah: Homoseksual adalah hubungan seksual antara orang-orang yang sama kelaminnya, baik sesama pria maupun wanita. Lesbian adalah hubungan seksual antara yang sesama jenis kelaminnya, terutama antara wanita dengan wanita. Onani/masturbasi adalah masturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang kurang etis dan tidak pantas dilakukan

2.      Hukum Lesbian dan Homosek adalah haram sesuai dengan pendapat ijma ulama dan Undang-undang pidana mengatakan akan kena sanksi hukuman penjara maksimal lima tahuan.

Pendapat ulama tentang Homosek dan Lesbian Hukum Homoseks dan Lesbian adalah haram menurut ijma ulama, tetapi dalam menentukan hukumannya berbeda-beda antara para ulama yakni sebagai berikut:

Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), Muhammad Ibn Al Hasan As Syaibani dan Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) berpendapat: praktik homoseksual tidak dikategorikan zina. Menurut Imam Malik praktek homoseksual dikategorikan zina dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau gair muhshan (perjaka). Ia sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As Sya’bi. Menurut Imam Syafi’i, praktik homoseksual tidak dikategorikan zina, tetapi terdapat kesamaan, di mana keduanya sama-sama merupakan hubungan seksual terlarang dalam Islam. Hukuman untuk pelakunya: kalau pelakunya muhshan (sudah menikah), maka dihukum rajam. Kalau gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Hal tersebut sama dengan pendapat Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, An Nakha’I, Al Hasan dan Qatadah.

Menurut Imam Hambali, praktik homoseksual dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat): Pertama, dihukum sama seperti pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam. kalau pelakunya gair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. (pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh dengan dirajam, baik dia itu muhshan atau gair muhshan.

3.      Menurut para ulama Hukum Onani adalah sebagai berikut:

Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama. sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Juhdi Masjfuk, H., Drs., Prof., Masail Fiqiyah, Kapita selekat Hukum Islam, CV Haji Masagung. Jakarta 1994.

 

Departemen Agama,Al-Quran dan Terjemah. Surabaya Mahkota,Tahun 1989.

 

http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/apakah-onani-manstrubasi-termasuk-dosa-besar.htm

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=395



[1] Masjfuk Juhdi, Masail fikiyah, Jakarta, CV Haji Masagung, 1994, hlm. 42.

[2] Ibid hl. 42

[3] Ibid hlm. 46


MUSIK DAN NYANYIAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

Ilmu fikih merupakan salah satu ilmu yang terus berkembang dan berbeda dengan ilmu yang lain seperti ilmu alat, akidah,  akhlak, Al-Qur`an dan hadis, yang kesemuanya itu hanya memperdalam dari setiap permasalahan. Lain halnya dengan ilmu fikih yang tiap saat terus berkembang disesuaikan dengan kemajuan zaman.

Masalah-masalah fikiyah yang ada  saat ini beragam macamnya yang semula pada saat Rasulullah tidak ada dan tidak muncul, sehingga para ilmuwan fikih (ulama) membuat kesepakatan berupa ijma dan fatwa-fatwa.

Dalam kaitannya dengan maslah fikhihah penulis mengambil sebuah tema yang diajukan berupa Musik dan Nyanyian, yang pada zaman Rasulullah tidak pernah ada berkembang, tetapi pada saat ini musik dan nyanyian sehingga pada saat ini mulai dipermasalahkan, dari pada itu penulis mencoba mengungkap beberapa pendapat mengenai musik dan nyanyian.

 

 

B.   Rumusan Masalah

Dari pembahasan di atas dirumuskan bahwa pembahasan ini adalah boleh dan tidaknya adanya musik dan nyanyian, menggunakan, belajar dan memanfaatkannya, disertai dengan pendapat-pendapat para fiqaha yang telah mempelajari hal ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

MUSIK DAN NYANYIAN

 

Musik dan nyanyian merupakan masalah yang pernah dipersoalkan hukumnya dikalangkan ulama. Ada ulama yang mengharamkan dan ada pula ulama yang membolehkan orang islam mempelajari, memainkan dan mendengarkan Musik dan nyanyian.

Ulama yang mengharamkan Musik dan nyanyian mengemukakah alasan antara lain ialah: bahwa Musik dan nyanyian itu adalah jenis hiburan, permainan, atau kesenangan yang bisa membawa orang lalai dari melakukan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap agama misalnya salat, terhadap diri dan keluarganya, seperti lupa studinya atau malas mencari nafkah, maupun terhadap masyarakat dan negara seperti mengabaikan tugas organisasinya atau tugas negara.

Tampaknya dalil sari yang dipakai ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian itu adalah yang disebut saddu al dzari`ah  yang artinya menutup/mencegah hal-hal yang dapat mengantarkan orang ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Misalnya melihat aurat wanita bukan mahram dan bukan istrinya adalah haram, karena perbuatan itu bisa mendorong orang kepada perbuatan yang tercela (berbuat zina) demikian pula wanita dilarang memperlihatkan sebagian auratnya kecuali pada suaminya, anak-anaknya dan orang-orang yang tertuang dalam surat An Nur ayat 31. Larangan ini juga dimaksudkan untuk menjaga tidak merangsang kaum pria.

Adapun ulama yang membolehkan orang islam belajar musik dan nyanyian mengemukakah alasan-alasan sebagai berikut:

1.      Usul fikih yang mengatakan “ pada dasarnya sesuatu hal itu halal sehingga ada dalil yang menjelaskan keharamannya”. Sedangkan dalam al quran dan hadis tidak ditemukan dalil yang mengharamkan atau membolehkan Musik dan nyanyian,

2.      Menikmati Musik dan nyanyian itu sesuai dengan fitrah manusia (human nature) dan gharizah-nya (insting/naluri), yang memang suka pada hal-hal yang enak, lezat, indah, menyenangkan, memberikan kedamaian dan ketenangan, seperti Musik dan nyanyian itu, sebagaimana yang diingatkan allah dalam al kuaran surat ali Imron ayat 14:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

 

Artinya: “ Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik”.

 

Menurut Islam, orang yang suka kepada 6 macam kesenangan hidup di dunia yang tersebut di atas tidaklah tercela, sebab kesukaan tersebut adalah sesuai dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan, sedangkan Allah tidak akan menciptakan manusia atas fitrah dan naluri yang jelek. (perhatikan firman Allah surat Ar Rum ayat 30). Misalnya pria mencintai wanita istrinya bukanlah hal yang tercela, tetapi justru perbuatan yang baik yang sesuai dengan hikmah Allah menciptakan manusia yang terdiri dari pria dan wanita agar mereka hidup sebagai suami istri yang hidup tenang dan penuh kasih sayang.

3.      Islam tidak membunuh/mematikan fitrah manusia tetapi mengaturnya, menyalurkan dan mengarahkannya ke arah yang positif yang diridai oleh Allah, dan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah ditentukan. Misalnya orang punya bakat seni musik atau seni rupa tidak dilarang oleh islam kalau ia mengembangkan bakatnya, lalu menemukan Musik dan nyanyian sehingga menjadi musikus atau penyanyi yang baik. Bahkan islam sangat menghargai kalau orang  yang mempunyai bakat seni lalu menggunakan bakat dan ahlinya dalam bidang seni musik atau suara itu sebagai sarana dakwah islam.

Menurut hemat penulis saddu al dzari`ah yang dijadikan dalil untuk mengharamkan musik dan nyanyian itu kurang tepat, karena bakat musik dan bakat nyanyi sebagaimana bakat seni-seni lainnya tidak bertentangan dengan fitrah manusia dan gharizahnya – ciptaan Allah- yang memang suka kepada kesenian, keindahan, kelezatan dan sebagainya. Karena itu Musik dan nyanyian pada dasarnya boleh, maka hukumnya tergantung  kepada niat dan pelaksanaannya oleh yang bersangkutan. Jika musikus dan penyanyi menggunakan bakat dan keahliannya untuk sarana dakwah, maka pekerjaan itu dipandang sebagai sarana ibadah. Dan sebaliknya jika mereka menggunakan bakat dan keahliannya untuk membangkitkan nafsu seks, apalagi kalau disertai dengan atraksi dan hidangan yang dilarang oleh agama, misalnya dansa dan minuman keras maka jelas itu merupakan perbuatan dosa/maksiat.

Karena itu penulis cenderung kepada pendapat ibnu Qayyim bahwa tidak semua dzariah harus ditutup tetapi tergantung kepada macam dzariah dan ekses-ekses  yang timbul dari padanya. Sebab ada dzariah yang dasarnya mubah (boleh) dan mengandung unsur posyitf (maslahah) dan unsur negatif (mafsadah),  jika unsur maslahatnya lebih besar dari mafsadatnya maka dzariah itu terbuka, dan hukumnya bisa mubah, sunah dan wajib tergantung pada tingkatan maslahatnya.

Tetapi apabila dzariah itu mengandung unsur negatifnya lebih besar dari pada positifnya maka menurut Ibnu qayyim masih dipersoalkan dalam kalangan fukaha tentang boleh tidaknya, sedangkan menurut Salam Madkur, guru besar di fakultas hukum Kairo dilarang melakukan dzariah.

Menurut hemat penulis, Musik dan nyanyian itu termasuk ke dalam kategori  dzariah yang dasarnya mubah (boleh), dan mengandung unsur positifnya lebih besar dari pada unsur negatifnya. Karena itu Musik dan nyanyian itu pada dasarnya mubah (boleh) bahkan hukumnya bisa meningkat menjadi sunah atau wajib tergantung keadaan tingkatan masalahnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Dari uraian dan penjelasan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Musik dan nyanyian boleh dilakukan atau di ajarkan dan sependapat dengan penadapat yang disampaikan oleh Ibnu Qayyum, yang mengatakan bahwa “tidak semua dzariah harus ditutup tetapi tergantung kepada macam dzariah dan ekses-ekses  yang timbul dari padanya. Sebab ada dzariah yang dasarnya mubah (boleh) dan mengandung unsur posyitf (maslahah) dan unsur negatif (mafsadah),  jika unsur maslahatnya lebih besar dari mafsadatnya maka dzariah itu terbuka, dan hukumnya bisa mubah, sunah dan wajib tergantung pada tingkatan maslahatnya”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Zyuhdi masjfuk, 1987, Masail Fiqiyah, CV Haji Masagung, Jakarta

Sayid sabiq, ______ fiqih sunah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar