Kamis, 25 November 2010

Conto Proposal

PENGARUH KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU TERHADAP
MOTIVASI BELAJAR SISWA
(Penelitian di Kelas 5 dan 6 Madrasah Ibtidaiyah Cilembu
Kecamatan Cigugur Kabupaten Ciamis)

A. Latar Belakang Masalah
Rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional Rendahnya kualitas sumber daya manusia juga akan menjadi batu sandungan dalam era globalisasi, karena era globalisasi merupakan era persaingan mutu. Jika bangsa Indonesia ingin berkiprah dalam percaturan global, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata sumber daya manusia, baik dari aspek intelektual, spiritual, kreativitas, moral, maupun tanggung jawab.
Penataan sumber daya tersebut perlu diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan melalui sistem pendidikan yang berkualitas baik pada jalur pendidikan formal, informal, maupun non formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi (Mulyasa 2004: 4). Dikatakan lebih lanjut oleh Mulyasa tentang pentingnya pengembangan sistem pendidikan yang berkualitas perlu lebih ditekankan, karena berbagai indikator menunjukkan bahwa pendidikan yang ada belum mampu menghasilkan sumber daya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
Sardiman (2005: 125) mengemukakan guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu, guru yang merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional,
sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam hal ini guru tidak semata-mata sebagai pengajar yang melakukan transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai pendidik yang melakukan transfer nilai-nilai sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar.
Kelengkapan dari jumlah tenaga pengajar, dan kualitas dari guru tersebut akan mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, yang berujung pada peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu guru dituntut lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.
Tugas Keprofesionalan Guru menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 pasal 20 (a) Tentang Guru dan Dosen adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Tugas pokok guru tersebut yang diwujudkan dalam kegiatan belajar mengajar serta tugas-tugas guru dalam kelembagaan merupakan bentuk kinerja guru. Apabila kinerja guru meningkat, maka berpengaruh pada peningkatan kualitas keluaran atau outputnya. Oleh karena itu perlu dukungan dari berbagai pihak sekolah untuk meningkatkan kinerja guru.
Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen sekolah, baik itu kepala sekolah, iklim sekolah, guru, karyawan maupun anak didik seperti yang dikemukakan oleh Pidarta (1995) dalam Saerozi (2005: 2). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya yaitu : a ) Kepemimpinan kepala sekolah, b ) Iklim sekolah, c ) Harapan-harapan, dan d ) Kepercayaan personalia sekolah. Dengan demikian nampaklah bahwa efektivitas kepemimpinan kepala sekolah dan iklim sekolah akan ikut menentukan baik buruknya kinerja guru.
Keberhasilan pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola tenaga kependidikan yang tersedia di sekolah. Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang berpengaruh dalam meningkatkan kinerja guru. Kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana (Mulyasa 2004: 25). Hal tersebut menjadi lebih penting sejalan dengan semakin kompleksnya tuntutan tugas kepala sekolah, yang menghendaki dukungan kinerja yang semakin efektif dan efisien.
Di samping itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya yang diterapkan dalam pendidikan di sekolah juga cenderung bergerak semakin maju, sehingga menuntut penguasaan secara profesional.
Kinerja guru yang baik salah satunya timbul dengan adanya tunjangan dan kompetensi, artinya seorang guru harus memiliki kompetensi berupa kerja yang profesional berupa lulusan yang sesuai dengan paknya dalam mengajar.
Dari kinerja guru yang profesional nantinya akan menghasilkan kualitas siswa yang baik sehingga dapat tercapainya tujuan pendidikan. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis pada kesempatan ini akan membahas tentang “Pengaruh Kompetensi Kepribadian Guru terhadap Motivasi Belajar Siswa (penelitian di kelas 5 dan 6 MI Cilembu Cigugur Ciamis)”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kompetensi Kepribadian guru di lingkungan MI Cilembu Kecamatan Cigugur?
2. Bagaimana motivasi belajar anak-anak kelas 5 dan 6 MI Cilembu Kecamatan Cigugur dari Kompetensi Kepribadian guru-guru?
3. Bagaimana pengaruh Kompetensi Kepribadian guru terhadap motivasi belajar anak kelas 5 dan 6 di lingkungan MI Cilembu Kecamatan Cigugur?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran kompetensi Kepribadian guru di lingkungan MI Cilembu Kecamatan Cigugur
2. Untuk mengetahui motivasi belajar anak kelas 5 dan 6 MI Cilembu Kecamatan Cigugur dari Kompetensi Kepribadian guru-guru
3. Untuk mengetahui pengaruh Kompetensi Kepribadian guru terhadap motivasi belajar anak-anak di lingkungan MI Cilembu Kecamatan Cigugur

D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Teoritis
a) Diharapkan menjadi bahan referensi acuan yang bermanfaat bagi pengkajian dan penelitian yang sejenis sehingga bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
b) Bahan masukan berupa saran sehingga membantu dalam pembentukan dan menumbuhkan minat belajar siswa terutama motivasi dalam membaca
2. Praktis
a) Dapat menambah wawasan pengetahuan dengan membandingkan teori yang sudah diterima
b) Mendapatkan informasi tentang persekolahan





E. Tinjauan Pustaka
1. Makna Profesionalisme Guru
Abad 21, khususnya dalam rangka persaingan global, yang sarat dengan tantangan yang semakin kompleks memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu, yaitu yang peka serta mampu memanfaatkan berbagai peluang.
SDM dihasilkan melalui pendidikan dan pelatihan. Sudah tentu untuk menghasilkan SDM yang dimaksud perlu proses dan hasil pendidikan yang bermutu. Untuk itu perlu tenaga kependidikan atau guru yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional, baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar dan pelatih. Disinilah letak pentingnya standar mutu profesional guru untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang bermutu. Tanpa standar mutu, tidak mungkin kita mendidik tenaga pendidik yang bermutu.
Guru profesional adalah guru yang memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. (Surya, 2003:28). Oleh karena itu guru harus memiliki kualifikasi kompetensi khusus yang memadai yang meliputi kompetensi intelektual, sosial, spiritual, pribadi, moral dan profesional yang tentunya didasarkan atas wawasan teoretis.
Kualifikasi adalah suatu keahlian yang diperlukan untuk menduduki suatu jabatan (Al Barry, 2005:540). Kualifikasi merupakan syarat kecakapan; memenuhi syarat atau berhak melakukan sesuatu, menduduki jabatan tertentu (Poerwadarminta,1966:528 )
Kompetensi adalah kemampuan dasar berupa keterampilan untuk menjalankan rutinitas sesuai dengan petunjuk, aturan dan prosedur teknis (Suparta, Ali, 2003:6). Sedangkan menurut Abdul Majid (2005:5) kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggungjawab yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan bidang-bidang pekerjaan tertentu.
Departemen Pendidikan Nasional merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Akan tetapi suatu kemampuan atau seperangkat intelejen yang penuh tanggungjawab itu, belum memadai untuk dikatakan profesional. Profesi menuntut adanya pengakuan kompetensi, yang disebut sertifikasi. Selanjutnya diperlukan organisasi profesi sebagai sarana yang mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan aspirasi baik mengenai idealisme maupun kesejahteraan yang merupakan implikasi dari tuntutan kompetensi. Selain tuntutan-tuntutan pokok di atas, di dalam profesi juga diperlukan kode etik sebagai bentuk tanggung jawab moral yang dapat mengarahkannya kepada tujuan yang baik .
Kaitannya dengan hal ini perlu adanya upaya dengan berbagai tindakan kegiatan nyata agar para guru dapat berkembang ke arah penguasaan kompetensi profesional sebagai landasan unjuk kerjanya. Menurut Mohamad Surya (2003:28) bahwa unjuk kerja secara profesional mencakup berbagai dimensi secara terpadu yaitu filosofi, konseptual, dan operasional.
Secara filosofis, berarti pendidikan harus mempunyai landasan filsafat yang jelas yang merupakan landasan berfikir dan landasan kerja. Secara konseptual, pendidikan harus berlandaskan paradigma konsep-konsep keilmuan yang jelas. Dan secara operasional, berarti pendidikan dilaksanakan atas dasar pola-pola kerja yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun konsepsional.
Jadi, sesuai dengan ketentuan GBHN yang menyatakan, “Hakikat pembangunan masyarakat Indonesia tidak diragukan lagi bahwa pengembangan standar mutu pendidikan guru yang profesional yang mampu bersaing (kompetitif) merupakan suatu keharusan.” Begitu pula tercermin dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 35 ayat 1 bahwa: “Standar nasional terdiri atas isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.”
Yang dimaksud dengan standar menurut Abdul Majid (2005:5) adalah suatu kriteria yang telah dikembangkan dan ditetapkan berdasarkan atas sumber, prosedur dan manejemen yang efektif. Sedangkan kriteria menurut Suharsimi Arikunto dalam Abdul Majid (2005:5) adalah sesuatu yang menggambarklan ukuran keadaan yang dikehendaki.
Standar kompetensi guru adalah “suatu ukuran yang ditetapkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan berprilaku sebagaimana layaknya seorang guru untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi, dan jenjang pendidikan.” (Majid, 2005:6)
Dari uraian diatas dipahami bahwa kualitas perilaku guru dalam mengajar mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi yang dapat menentukan dan mempengaruhi kualitas perilaku mengajar dari guru bukan hanya kompetensi profesional saja. Masih ada satu unsur yang juga ikut mempengaruhi yaitu ”imbal jasa”, baik itu bersifat gaji maupun tunjangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Linda Darling-Hammond (2000) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kualitas guru beserta kesejahteraannya dengan mutu hasil pendidikan yang dinyatakan dengan prestasi belajar siswa.(Surya,2003:68).
Adapun gaji guru yang dipandang memiliki nilai signifikan adalah gaji yang memiliki nilai kewajaran dan keadilan untuk menunjang kehidupan pribadi dan profesional guru. (Surya,2003:68).
Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan profesionalisme guru seperti seminar, lokakarya, ceramah, konsultasi, studi banding, penataran-penataran, dan forum-forum lainnya. Tetapi karena upaya tersebut tidak diikuti dengan kebijakan terhadap peningkatan kesejahteraan, maka tidak memberikan perubahan dalam arti peningkatan yang berarti. Karena guru-guru di luar pekerjaannya yang pokok, juga sibuk dengan mencari penghasilan tambahan untuk dapat hidup layak sebagai guru. Sehingga waktu dan tenaga guru banyak terkuras untuk melaksanakan pekerjaan yang bukan menjadi tugas utamanya.
Alhamdulillah seiring dengan perkembangan sistem demokrasi di Indonesia disahkan pulalah Undang-undang Republik Indonesia tentang guru dan dosen, yang di dalamnya ditetapkan prinsip profesionalitas (Bab III Pasal 7), standar kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi (Bab IV Bagian Kesatu Pasal 8) yang diikuti dengan ketetapan tentang hak dan kewajibannya. (Bab IV Bagian Kedua Pasal 14).
Selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai implementasi terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (dan seterusnya..............)
2. Kompetensi Kepribadian Guru
Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Diyakini Robotham (1996:27), kompetensi yang diperlukan oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman.
Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Usman (1994:1) mengemukakan kompentensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. McAhsan (1981:45), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengemukakan bahwa kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu Finch & Crunkilton (1979:222), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.Sofo (1999:123) mengemukakan “A competency is composed of skill, knowledge, and attitude, but in particular the consistent applications of those skill, knowledge, and attitude to the standard of performance required in employment”. Dengan kata lain kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut dalam pekerjaan.Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang di perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan.Spencer & Spencer (1993:9) mengatakan “Competency is underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-reference effective and/or superior performance in a job or situation”. Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang berkaitan dengan kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan dan situasi tertentu. Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan, kompetensi dikatakan underlying characteristic karena karakteristik merupakan bagian yang mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang dan dapat memprediksi berbagai situasi dan jenis pekerjaan. Dikatakan causally related, karena kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dikatakancriterion-referenced, karena kompetensi itu benar-benar memprediksi siapa-siapa saja yang kinerjanya baik atau buruk, berdasarkan kriteria atau standar tertentu.Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksankan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.Menurut Syah (2000:230), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawi dalam melaksanakan profesinya.Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya).Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan.Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi meliputi (1) pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama, (2) pengetahuan tentang budaya dan tradisi, (3) pengetahuan tentang inti demokrasi, (4) pengetahuan tentang estetika, (5) memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, (6) memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, (7) setia terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan kompetensi guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka, berwibawa, bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan

F. Kerangka Pemikiran
Kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas menjadi sebuah ukuran akan keberhasilan dalam proses belajar mengajar, maka kompetensi kepribadian guru yang harus dimiliki salah satunya adalah SDM, artinya kemampuan seorang guru dapat menangani masalah dalam pembelajaran.
Selain itu lebih sepesifik mengenai kompetensi kepribadian guru adalah memahami atau tidaknya suatu materi yang akan di sampaikan seperti RPP, Silabus dan sebagainya.
Dengan kemampuan seorang guru dalam membimbing anak di ruangan akan menimbulkan motivasi bagi siswa yang sedang belajar, tatkala guru tersebut kurang memiliki kemampuan dalam mengajar maka akan menjadi sebuah kejenuhan dalam belajar, berbeda dengan guru yang profesional, dia akan mampu mengatasi kejenuhan yang dihadap oleh siswa.
Lebih rinci mengenai kerangka pemikiran dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:




G. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan tentative yang merupakan dugaan sementara tentang apa saja yang kita amati usaha untuk memahaminya. Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Berdasarkan kerangka pemikiran, maka penulis mengambil suatu hipotesis yang berbunyi:
Hipotesis yang dapat penulis ambil adalah bahwa terdapat pengaruh antara kompetensi kepribadian guru terhadap motivasi belajar siswa.

H. Langkah-langkah Penelitian
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MI Cilembu Kecamatan Cigugur Kabupaten Ciamis dari bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2010.
2. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua Variabel yaitu:
Variabel X = Kompetensi Kepribadian Guru
Variabel Y = Motivasi belajar siswa
Dengan demikian yang dipelajari dalam penelitian ini adalah hubungan yang dapat mencerminkan kontribusi variabel bebas terhadap variabel terkait, sehingga penelitian ini lebih cenderung bersifat korelasional.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dapat di artikan sebagai keseluruhan orang atau benda dalam suatu kategori tertentu, sebagaimana dinyatakan oleh June Audry True bahwa “Population ia a number of people or tems all in the same categoy” (True, 1988:71). Dengan demikian populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru MI Cilembu Kecamatan Cigugur dengan jumlah 10 orang
Sedangkan sampel berarti contoh, yaitu: “ sebagian dari seluruh individu yang menjadi objek penelitian” (Mardalis, 1993 : 55)
Sampel yang penulis gunakan adalah sampel total atau sampel populasi karena jumlah populasinya kurang dari 100. sehingga sampelnya berjumlah 10 Orang.

4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan deskriptif dan verifikatif . Dengan teknik pengumpulan data menggunakan angket dan observasi di mana akan dihasilkan data primer dan sekunder.
5. Teknik Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik angket dan Observasi serta hasil tes untuk menjaring data Kompetensi Kepribadian Guru dan Motivasi Belajar Siawa
6. Teknik Analisis Data
Sehubungan penelitian ini bersifat kuantitatif maka teknik analisa data yang digunakan adalah tes statistik Dimana peneliti harus melakukan dua jenis uji, yaitu uji persyaratan dan pengujian hipotesis. (Thoyyar, 2003 23).
Untuk keperluan uji persyaratan, yaitu mengetahui apakah sebuah variabel berdistribusi normal atau tidak, penulis menggunakan rumus Chi-Square / 2), dengan rumus berikut :


k (oi – ei)
2 = ei
i=1
Keterangan :
oi = nilai pengamatan (i = 1,2,….,k)
ei = nilai yang diharapkan (i =1,2,…,k)
k = bilanagan kategori

Bila 2 hitung lebih kecil dari 2 tabel maka disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistrubusi normal.
Selanjutnya bilamana ditemukan sampelnya berasal dari distribusi normal maka peneliti menggunakan analisis korelasi Produk Momen Pearson (Produsct Moment Prearson’s Correlation) dengan rumus koefisien korelasi sebagai berikut :

XY (
xx)( yy) 2 2
(
n
2 – n 2 – n

Tetapi apabila datanya tidak berdistribusi normal, maka penulis akan menggunakan analisis korelasi Non-Parametrik. Di mana analisis korelasis Non-Parametrik terbagi atas :
a. Analisis korelasi dua variabel yang masing-masing berskala nominal
b. Analisis korelasi dua variabel antara variabel bersekala ordinal dengan variabel berskala nominal
c. Analisis korelasi dua variabel antara variabel berskala interval dengan variabel berskala nominal
d. Analisis korelasi dua variabel yang masing-masing berskala ordinal
e. Analisis korelasi Peringkat Spearman. (Thoyyar, 2003: 33)



















DAFTAR PUSTAKA

Dirawat. 1993, Sistem pembinaan professional dan cara belajar siswa aktif, Grasindo, Jakarta.

Qomari Anwar. 2001. Pendidikan sebagai karakter budaya bangsa, Uhamka Press, Jakarta.

__________. 2002. Reorientasi Pendidikan dan Profesi Keguruan, Uhamka Press, Jakarta.

Sudjana, (2002). Metode Statistika. Bandung, Tarsito

Arikunto, Suharsimi, (1993) Prosedur Penelitian. Jakarta, Rineka Cipta

Purwanto, Ngalim (2004). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.

Hamalik, Oemar (2008). Proses Belajar mengajar. Sinar Grafika, Jakarta

IAID Darussalam, (2001) Panduan Penyusunan Skripsi di lingkungan Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis Jawa Barat. Tanpa Penerbit, Ciamis

Surya, Muhammad. (1985). Psikologi Pendidikan. PT. Rineka Cipta, Bandung.










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 5
E. Langkah-langkah Penelitian ................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORETIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................
1. Makna Profesionalisme Guru .....................................................
2. Unsur-unsur Kompetensi Guru....................................................
3. Kompetensi Kepribadian Guru ................................................
4. Pengertian Motivasi Belajar ....................................................
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Belajar ..................
B. Kerangka Pemikiran .......................................................................
C. Hipotesis .........................................................................................
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Objektif Lokasi Penelitian ...................................................
B. Deskripsi Data
1. Kompetensi Kepribadian Guru .........................................................
2. Motivasi Belajar Siswa ...........................................................
C. Pengujian Persyaratan
1. Uji Normalitas Variabel X (Kompetensi Guru) ........................
2. Uji Normalitas Variabel Y (Motivasi Belajar siswa) .................
D. Pengujian Hipotesis ......................................................................
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................
B. Saran-saran .......................................................................................















PROPOSAL PENELITIAN



PENGARUH KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU TERHADAP
MOTIVASI BELAJAR SISWA
(Penelitian di Kelas 5 dan 6 Madrasah Ibtidaiyah Cilembu
Kecamatan Cigugur Kabupaten Ciamis)




Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam Pada Prodi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam
(IAID) Ciamis














Disusun Oleh:

ANWAR HIDAYAT
NPM : 06.03.2106






FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS JAWA BARAT
2010

Rabu, 10 November 2010

Kredit Menurut Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bila kita berbicara tentang masalah jual beli atau perdagangan maka tidak bisa lepas dari istilah Riba atau bung keuntungan sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 275;

                      •                       •     
Artinya :”orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah, 2 : 275)
Dalil di atas merupakan dalil nash yang menjadi dasar dalam masalah muamalah jenis ini, yang pada intinya bahwa islam melarang setiap tindakan pembungaan uang (riba). Akan tetapi jangan menganggap bahwa islam melarang perkreditan , pada sasarnya islam membolehkan perkreditan dalam dunia perdagangan. Apalagi di dalam masyarakat yang menganut sistem perekonomian modern sekarang ini, menuntut ada kredit dan pinjaman. Dibalik itu tentu masing-masing pihak ingin meraih keuntungan. Akan tetapi secara objektif keuntungan yang diperoleh dalam perdagangan tidak pernah melainkan senantiasa berubah-ubah setiap waktu apalagi perekonomian negara kurang stabil.
Berawal dari hal tersebut maka penulis pada kesempatan ini akan mengungkap yang berhubungan dengan sistem perkreditan yang ada dan berlaku di kita saat ini.


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan sebagai berikut:
1. Pandangan islam tentang perkreditan
2. Hukum perkreditan menurut islam

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam tentang Perkreditan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata [dalam Fatawa Mu'ashirah, hal. 52-53, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin] : “Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah swt:
          
. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” [Al-Baqarah : 282]

Demikian pula, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba. Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :
Pertama: Seseorang memerlukan sebuah mobil, lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata, “Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan membelinya kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.
Kedua; Bahwa sebagian orang ada yang memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut, andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya dengan menjualnya kepada orang yang berhajat tersebut.
Gambaran yang lebih jelek lagi dari itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga tertentu, kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari itu padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang kepada si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah membayar seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang berkata, “Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan akan melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.
Akan tetapi yang menjadi dhabit (ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa setiap hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan (siasat licik)“. [Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa'ul Ghalil 1535]
Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan [dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427] :”Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam "Al-Mushannaf (VI/120/502)", Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban di dalam "Shahihnya (1110)", Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343) kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu, sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam "Al-Muhalla (IX/16). Juga diriwayatkan oleh An-Nasa'i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi (I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi di dalam "Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)", ia juga menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh : "Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan"]
Al-Baihaqi berkata : “Bahwa Abdul Wahhab (yakni Ibnu Atha’) berkata yaitu (si penjual) berkata : “Itu (barang) untukmu apabila kontan Rp 10,- namun jika dengan penundaan (seharga) Rp 20,-”
Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.”
Dan hadits itu dengan lafazh ini ["Dua syarat di dalam satu penjualan"] adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”.
Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud : “Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq di dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163, 1111) dan Ath-Thabrani (41/1), sanadnya shahih]
Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma'a Syarhihi Bulughul -Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun], saksinya dan penulisnya“. Dan sanadnya juga shahih
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat “Yaitu seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian, dan jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian“.
Apalagi sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) menyepakatinya atas hal itu. Mereka adalah :
1. Ibnu Sirin Ayyub. Meriwayatkan darinya, bahwa Ibnu Sirin membenci seseorang berkata : “Aku menjual (barang,-pent) kepadamu seharga 10 dinar secara kontan, atau 15 dinar secara tempo” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di dalam "Al-Mushannaf (VIII/138/14630)" dengan sanad yang shahih darinya (Ibnu Sirin)].
2. Thawus. Dia berkata : “Apabila (penjual,-pent) mengatakan bahwa (barang) itu dengan (harga) sekian dan sekian jika temponya sekian dan sekian, tetapi dengan (harga) sekian jika temponya sekian dan sekian. Lalu terjadi jual beli atas (cara) ini, maka (penjual harus mengambil, -pent) harga yang lebih rendah sampai tempo yang lebih lama. [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq juga (14631) dengan sanad yang shahih juga. Abdur Razaq juga meriwayatkan (pada no 14626), demikian pula Ibnu Abu Syaibah (VI/120) dari jalan Laits dari Thawus dengannya (perkataan di atas,-pent) secara ringkas, tanpa perkataan : "Lalu terjadi jual beli..." tetapi dengan tambahan (riwayat) : "Kemudian (jika penjualnya, -pent) menjual dengan salah satu dari kedua harga itu sebelum (pembeli, -pent) berpisah dari (penjual), maka tidak mengapa". Akan tetapi ini tidak shahih dari Thawus, karena :Laits -yaitu Ibnu Abu Salim- telah berubah ingatan (karena tua)].
3. Sufyan Ats-Tsauri. Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak kontan (seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama belum terjadi keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adala dibenci.Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang. Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama. [Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri].
4. Al-Auza’i. Riwayatnya secara ringkas senada dengan di atas. Dalam riwayat itu dikisahkan bahwa Al-Auza’i ditanya : “Jika (pembeli,-pent) membawa pergi dagangan itu (berdasarkan jual-beli dengan) dua syarat tadi?” Dia (Al-Auza’i) menjawab : “Harga barang itu dengan harga yang terendah dengan tempo yang lebih lama“. Al-Khaththabi menyebutkannya (riwayat ini, pent) di dalam “Ma’alimus Sunnah (V/99)”. Kemudian para imam hadits dan lughoh (bahasa Arab) berjalan mengikuti sunnah mereka, diantaranya :
 Imam An-Nasa’i. Beliau berkata dibawah bab : Dua penjualan di dalam satu penjualan: “yaitu seseorang berkata : Aku menjual kepadamu barang ini seharga 100 dirham secara kontan, dan seharga 200 dirham secara tidak kontan”.Demikian juga An-Nasa’i menerangkan seperti itu pada hadits Ibnu Amr “Tidak halal dua persyaratan di dalam satu penjualan“. [Hadits ini ini telah ditakhrih didalam "Al-Irwaa (1305) dan lihatlah "Shahihul Jaami (7520)".
 Ibnu Hibban. Beliau berkata di dalam "Shahihnya (VII/225-Al-Ihsan)" : "Telah disebutkan larangan tentang menjual sesuatu dengan harga 100 dinar secara kredit, dan seharga 90 dinar secara kontan. Beliau menyebutkan hal itu dibawah hadits Abu Hurairah dengan lafazh yang ringkas.
 Ibnul Atsir. Di dalam "Gharibul Hadits" dia menyebutkannya di dalam penjelasan dua hadits yang telah diisyaratkan tadi.

B. Hukum Perkreditan Menurut Islam
Sesungguhnya telah disebutkan pendapat-pendapat yang lain mengenai tafsir "dua penjualan" itu, mungkin sebagiannya akan dijelaskan berikut ini. Namun tafsir yang telah lewat di atas adalah yang paling benar dan paling masyhur, dan itu persis dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan (istilah) "Jual Beli Kredit". Bagaimana hukumnya ?
Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.
1. Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm
2. Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.
3. Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah dibayarkan maka boleh.
Dalil madzhab yang pertama adalah zhahir larangan pada hadits-hadits yang telah lalu, karena pada asalnya larangan itu menunjukkan batilnya (perdagangan model itu). Inilah pendapat yang mendekati kebenaran, seandainya tidak ada apa yang nanti disebutkan saat membicarakan dalil bagi pendapat yang ketiga.
Sedangkan para pelaku pendapat kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan harga, yaitu : ketidak pastian harga ; apakah harga kontan atau kredit. Al-Khaththabi berkata : "Apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga, -pent) itu dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah".
Syaikh Al Albani berkata : "Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan' disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat "Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)], Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”
“Jual beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa (XXIX/5-21) yang tidak memerlukan tambahan lagi, hendaklah orang yang ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.
Syaikh Al-Albani berkata : “Apabila demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar kredit. Jual beli dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara kedua yaitu pembeli membawa barang dengan menanggung harga kredit -dan inilah masalah yang sedang diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak mengerti harga yang dikemukakan di atas ? Khususnya lagi apabila pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran yang pertama dia bayar dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung kesepakatan. Dengan demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya harga sebagai dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian.
Dalil pendapat yang ketiga adalah hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah atsar (hadits) Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat bahwa : ‘dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi illat (alasan)nya. Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan illat (alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada. Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba. Tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi boleh. Sebagaimana keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan bahwa boleh untuk mengambil yang lebih rendah harganya, dengan tempo yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian berarti dia tidak menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.
Bukankah anda lihat apabila (penjual) menjual barang dagangannya dengan harga pada hari itu, dan dia membebaskan pembeli untuk memilih antara membayar harga secara kontan atau hutang, maka dia tidak dikatakan : Telah menjual dengan dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang bicarakan, “Maka baginya (harga) yang paling sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba” [lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensahkan penjualan itu karena hilangnya illat (alasan/sebab yang menjadikannya terlarang). Beliau membatalkan harga tambahan, karena hal itu adalah riba. Pendapat ini adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i rahimahullah sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan (V/97)”.
Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah, karena tidak ada dalil padanya kecuali akal bertentangan dengan nash. Kemudian diiringi oleh pendapat yang pertama, karena Ibnu Hazm yang mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa hadits bab ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua penjualan di dalam satu penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan dengan ushul (fiqh,-pent).
Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah hadits itu,-pent) tidak akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum) kecuali apabila jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa dilakukan dengan mudah disini.
Ketahuilah akhi (saudaraku) Muslim ! bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar di kalangan para pedagang dewasa ini, yaitu jual beli kredit, dan mengambil tambahan (harga) sebagai ganti tempo, dan semakin panjang temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu hanyalah mu’amalah yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di atas (prinsip) memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka, sebagaimana di dalam sabda beliau “Mudah-mudahan Allah merahmati seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah apabila dia membeli, mudah apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang dermawan, yang lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no. 938]
Maka seandainya salah seorang dari mereka (para pedagang ) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual (barang) dengan (sistim hutang atau kredit dengan harga kontan, sesunguhnya itu lebih menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan menjadikan orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta akan diberkati di dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka” [Ath-Thalaq : 2]
Dan pada kesempatan ini aku nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju kepada risalah al-akh Al-Fadhil Abdurrahman Abdul Khaliq (yang berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”, karena risalah ini istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadanya.”

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat simpulkan bahwa hukum dari kredit adalah sebagai berikut:
1. Jumhur Ahli Fikih, seperti mazhab Hanafi, Syafi`i, zaed bin Ali dan Muayyid billahi berpendapat bahwa jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.
2. Jumhul Ulama menetapkan bahwa, seorang pedagang boleh menaikan harga yang menurut pantas karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
3. Sebagian fukaha mengharamkan dengan alasan bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu dan hal itu berarti tidak ada bedanya dengan riba (Yusuf Qardawi)
4. Pendapat lain mengatakan bahwa upaya menaikan harga di atsa yang sebenarnya lantaran kredit, lebih dekat kepada riba nasih, riba nasih adalah riba yang jelas-jelas dilarang oleh nash al Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah As-Sunnah Edisi 12/Th III/1420-1999, Penjualan Kredit Dengan Tambahan Harga, Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Peneremah Abu Shalihah Muslim Al-Atsari, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah.
Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq

http://jacksite.wordpress.com/2007/06/19/hukum-jual-beli-kredit-dalam-islam/

Diniyah yang Ideal

Diniyah yang Ideal

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal yang bertujuan untuk memberi tambahan pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa kurang menerima pelajaran agama Islam di sekolahannya.

Keberadaan lembaga ini sangat menjamur dimasyarakat karena merupakan sebuah kebutuhan pendidikan anak-anak pra dewasa. Apalah lagi sudah memiliku legalitas dari pemerintah melalui perundang-undangannya. Kelegalitasan ini menuntut Madrasah Diniyah untuk memiliki kurikulum yang mendukung, keadminitrasian yang mapan serta managemen yang professional.

Dalam makalah ini penulis akan mengupas sedikit tentang keadministrasikan, kurikulum madrasah diniyah yang insya Allah akan membentuk kepercayaan masyarakat terhadap lembaga madrasah ini.

1.2 Batasan Masalah

Sebelum merumuskan masalah yang dihadapi, perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa permasalahan muncul adalah.

  1. Bagaimanakah kurikulum yang digunakan di Madrasah Diniyah ?
  2. Bagaimanakah tahapan keadministrasian Madrasah Diniyah hingga terkesan ketinggalan zaman ?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

  1. Mempelajari kurikulum dan keadministrasian Madrasah Diniyah.
  2. Mengetahui bagaimana menjadikan Madarah Diniyah yang ideal.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Madrasah Diniyah

Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.

Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.

Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.

Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.

Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga,pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

2.2.Ciri-ciri Madrasah Diniyah

Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:

  1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
  2. Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
  3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
  4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
  5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
  6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.

2.3.Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.

Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.

Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :

  1. Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
  2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
  3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).

Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”.

Dalam program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.

Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.

Kurikulum Madrasah Diniyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat/Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.

2.4.Administrasi Madrasah Diniyah

Administrasi Madrasah Diniyah ialah segala usaha bersama untuk mendayagunkan sumber-sumber, baik personil maupun materil secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di Madrasah Diniyah secara optimal.

2.4.1. Prinsip Umum Administrasi Madrasah Diniyah

  1. bersifat praktis, dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi nyata di madrasah DIniyah.
  2. Berfungsi sebagai sumber informasi bagi peningkatan pengelolaan pendidikan dan proses belajar mengajar.
  3. Dilaksanakan dengan suatu system mekanisme kerja yang menunjang realisasi pelaksanaan kurikulum.

2.4.2. Ruang Lingkup

  1. Secara makro administrasi pendidikan di Madrasah Diniyah mencakup :
    1. kurikulum
    2. Warga belajar
    3. Ketenagaan
    4. Keuangan
    5. Saran/prasarana/gedung dan perlengkapan lainnya
    6. Hubungan kerjasama dengan masyarakat
  2. Dilihat dari Proses kegiatan pengelolaan dan perlengkapan, maka administrasi pendidikan mencakup :
    1. Kegiatan merencakanan (planning)
    2. Kegiatan mengorganisasikan (Organizing)
    3. Kegiatan mengarahkan (Directing)
    4. Kegiatan Mengkoordinasikan (Coordinating)
    5. Kegiatan mengawasi (Controling), dan
    6. Kegiatan evaluasi

2.4.3. Peranan Pimpinan

Dalam pelaksanaan administrasi termasuk administrasi pendidikn diperlukan seorang pimpinan yang berpandangan luas dan berkemampuan, baik dilihat dari segi pengetahuan, keterampilan maupun dari sikap.

Hal ini diperukan, karena pimpinan harus menciptakan dan melaksanakan hubungan yang baik antara :

  1. Kepala madrasah dengan guru
  2. Guru dengan guru
  3. guru dengan penjaga madrasah
  4. Kepala Madrasah, guru dan masyarakat

Dalam pengelolaan administrasi ada beberapa kegiatan yang dapat menunjang pelaksanaan kurikum diantaranya :

  1. Kegiatan mengatur proses belajar mengajar
  2. Kegiatan mengatur murid (warga belajar)
  3. Kegiatan mengatur kepegawaian
  4. Kegiatan mengatur gedung dna perlengkapan madrasah
  5. Kegiatan mengatur keuangan
  6. Kegiatan mengatur hubungan Madrasah dengan masyarakat.
  7. Tugas serta tanggungjawab guru dan kepala madrasah
  8. Mengembangkan dan menyempurnakan sejumlah instrument administrasi madrasah diniyah.

BAB III

KESIMPULAN

Madrasah diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan non formal yang memiliki peranan penting dalam pengembangan pembelajaran agama Islam. Dalam madrasah diniyah yang merupakan lembaga yang memiliki paying hokum yang legal tentunya kurikulum sudah diset oleh pemerintah yang tentu tidak secara baku. Dalam artian pelaksana pendidikan bisa mengekplorasi pembelajaran yang bersipat penyesuaian dengan lingkungannya. Penyesuaian kurikulum itu akan dilakukan pada madrasah diniyah di semua tingkatan: ula (awal), wusto (menangah), hingga ala(atas).

Dalam keadministrasian meliputi beberapa urusan diantaranya: urusan administrasi, urusab Kurikuler, Urusan kewargaan belajar, urusan saran dan prasrana, dan urusan Humas

Dalam hal keorganisasiannya meliputi Kepala Madrasah Diniyah, Wali Kelas, Guru Pembimbing, BP3, guru mata pelajaran, tenaga kependidikanlainnya.

Untuk menjadi Madrasah Diniyah yang ideal maka yang sangat diperlukan adalah memperhatikan keadministrasian yang mapan, kurikulum yang sudah dibakukan oleh pemerintah yang ditambahkan dengan ektrakulikuler yang disesuaikan dengan lingkungan belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Kurikulum Madrasah Diniyah Awaliyah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997.

Departemen Agama, Sejarah Perkembangan Madarsah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998.

Departemen Agama, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Pendidikan, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1996.

http://wasiat-jakarta.blogspot.com/2008/10/mengembangkan-pendidikan-diniyah-di.html

http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/sastra-arab/article/view/410

http://72.14.235.132/search?q=cache:c1nhfTMWXmcJ:bangkatengahkab.go.id/download.inc.php%3F_tipe%3Ddownload%26id_download%3D25+%22pendidikan+madrasah+diniyah%22&cd=12&hl=id&ct=clnk&gl=id

http://pendis.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3301